2/2/13

Arti Sebuah Keluarga (PART 1)


Bersama kita kan berdiri hadapi cobaan dan lalui semua.. Tak akan pernah ditinggalkan dirimu sendiri.. Bersama semua kesedihan yang ada..
Itulah cuplikan lagu yang sering dinyanyikan oleh Melody, Stella, Cleo, Shania, Ve, Ochi, Sonya, dan Nabilah. Setiap dari mereka memiliki bakat dan keunikan sendiri. Sebagai sesama saudara, mereka saling menghormati dan menghargai satu sama lain. Mereka pun jarang mempertengkarkan sesuatu. Keakraban mereka sudah lama terjalin sejak masih kecil. Karena sudah lebih dari sepuluh tahun mereka bersama, mereka dapat memahami perasaan satu sama lain.


Disaat salah satu dari mereka mendapatkan masalah, yang lainnya senantiasa menolong. Begitu, dan sebagainya. Saat senang, sedih, haru, canda, dan tawa sudah menjadi keseharian mereka. Suasana harmonis selalu terjalin di keluarga yang anak-anaknya sering dipanggil “Aureliana” bersaudara itu. Entah dari mana julukan itu berasal, mereka sudah terbiasa dipanggil dengan panggilan itu.
“Anak-anak, ayo bangun. Terus mandi, makan, dan sekolah. Nanti telat lho.” Perintah bunda aureliana bersaudara itu.
Satu per satu dari mereka lalu terbangun. Mereka tidur di dalam satu kamar yang sangat luas. Dimana ada empat ranjang bertingkat untuk masing-masing dua orang. Dikamar mereka juga tersedia delapan almari pakaian, delapan kaca rias, dan delapan jendela kamar. Kebanyakan barang yang ada di dalam kamar itu serba delapan.
“Ayo, cepat mandi sana. Terus makan.”
“Iyaa, Bunda.” Bersamaan mereka menjawab.
Ada empat kamar mandi di pojok kiri ruang dapur. Setiap dari mereka bergantian menggunakannya dengan akur, tanpa berebutan. Selesai mandi, mereka masuk ke kamar untuk mengenakan seragam sekolah, sedikit berias, dan menuju meja makan yang terletak tepat dibawah lantai kamar mereka.
“Bunda, Ayah kemana sih? Kok nggak kelihatan?” Tanya Melody yang akrab di panggil Imel.
“Iyaa nih. Biasanya Ayah makan pagi bareng sama kita. Kenapa sekarang enggak?” tambah Shania.
“Ayah kalian pergi ke luar kota pagi tadi. Ayah sedang ada urusan pekerjaan disana. Doakan saja Ayah kalian baik-baik saja disana, dan perkerjaannya lancar. Jadi bisa cepat pulang..” terang Ibunda.
“Hmm. Emang urusan apa Bun?” Tanya Stella.
“Urusan masalah proyek industry kopi di Jogja. Ayah kalian sebagai direktur disana.”
“Wahh, asik dong. Nanti Ayah pulang bisa bawa uang banyak. Dan aku bisa minta dibeliin telur ayam banyaaak banget. Hhehehe..” celetus Nabilah.
“Hih, kamu ini Bil. Pikirannya telur mulu.” Ucap Ochi.
“Iya nih. Kalau enggak telur dadar, pasti telur mata sapi. Hati-hati loh kamu.” Kata Ve menakuti Nabilah.
“Tapi aku kan suka. Mau gimana lagi. Apa kalian nggak suka? Nggak mungkin..” ucap Nabilah sambil mengejek Ve dan Ochi.
Sonya hanya diam dan tersenyum melihat kelakuan saudaranya yang lucu itu.


“Sudah, sudah. Makan dulu, jangan banyak omong..” lerai Cleo.
“Iyaa. Sudah ayo cepat selesaikan makannya, terus berangkat sekolah. Nanti telat.” Perintah Bunda mereka.
“Iyaa, Bunda..” serentak semua menjawab.
(*)

Melody, Stella, Cleo, Shania, Ve, Ochi, Sonya, dan Nabilah berpamitan pada Bundanya. Mereka bersama mengambil sepeda mereka masing-masing di garasi didepan taman bunga. Mereka sudah dengan sepedanya masing-masing dan bersama-sama berangkat ke sekolah.
Diperjalanan mereka mengobrol, kadang bernyanyi dan bercanda. Suasana pagi yang masih agak hening itu berubah menjadi hangat karena keakraban mereka. Sekolah mereka juga berderetan. SD, SMP, dan SMA berderet dari kanan ke kiri. Satu per satu dari mereka memasuki sekolahnya masing-masing. Nabilah masuk ke SD nya, Shania, Ochi, dan Sonya masuk ke SMP, sementara Melody, Stella, Cleo dan Ve masuk ke SMA mereka.
Diantara mereka, Nabilah lah yang paling merasa kesepian karena tidak ada kakak-kakaknya yang satu sekolah dengannya. Maka dari itu, saat istirahat sekolah, Nabilah sering keluar dari sekolah dan menghampiri kakak-kakaknya di SMP maupun SMA. Tapi setelah istirahat selesai, ia pun kembali lagi ke sekolahnya. Kakak-kakaknya memaklumi hal itu. Karena Nabilah juga adik yang paling kecil, maka mereka sangat sayang padanya.
Bel pulang sekolah pun berbunyi. Nabilah yang sudah dulu keluar, menanti kakak-kakaknya di depan gerbang SMP.
“Ehh, dek Nabilah udah nungguin. Lama yah?” ejek Shania sambil mencubit pipi Nabilah.
Ochi dan Sonya tertawa melihat itu. Sementara Nabilah cemberut karena dikerjain kakak-kakaknya itu.
“Yaudah deh, ayo kita nungguin kak Imel dan lainnya.” Ajak Sonya.
“Iyaa, yuk.” Ucap Ochi sambil mengajak Nabilah dan Shania.
Hanya beberapa kayunan sepeda, mereka sudah sampai di depan gerbang SMA tempat kakak mereka sekolah. Ternyata Melody, Stella, Cleo dan Ve sudah menunggu.
“Kak, kok udah keluar sih? Tumben pulang cepet.” Tanya Shania.
“Iyaa Shan, soalnya guru-guru ada rapat. Jadi murid-murid dipulangkan lebih awal..” terang Imel kepada semua adiknya.
“Ehh, kita jalan-jalan yuk? Pada mau nggak?” ajak Stella.
“Kemana?” Tanya Ochi.
“Yaa, kemanalah gitu. Lagian sekarang kan hari sabtu, dan besok minggu. Jadi agak santai buat besok. Gimana, pada mau nggak?” ajak Stella lagi.
“Yaudah, ayo kita bersepeda ke bukit aja. Gimana?” saran Imel.
“Iyaa, aku setuju. Anginnya sejuk, enak suasananya.” Ucap Stella.
“Tapi nanti kalau dicari Bunda gimana kak?” Tanya Sonya.
“Iyaa, gimana tuh?” tambah Ve.
“Yaa kita nggak perlu lama-lama disana. Sebentar aja. Biasanya juga kan kita pulang jam dua siang, lah ini masih jam dua belasan..” kata Stella.
“Udah yuk berangkat aja. Jangan buang waktu disini..” ajak Imel.
Mereka semua akhirnya bersepeda menuju bukit. Mereka mengayun sepeda lebih kuat karena jalan menuju bukit yang menanjak. Tidak lebih dari lima belas menit mereka sampai di bukit.
Suasana di bukit saat itu sangat sejuk. Walaupun matahari sedang bersinar cerah dan cuaca sedang panas, tapi pepohonan yang lebat menghalau semua itu.
Mereka memakan bekal sekolah disana. Sambil bersenda gurau mereka menikmati hari itu. Sungguh terlihat keakraban yang sangat sempurna diantara mereka. Seperti sebuah keluarga yang tidak akan pernah bertengkar sampai kapanpun.
Akhirnya mereka semua pulang kerumah. Dirumah, Ibunda mereka sudah menyambut. Mereka lantas mencuci kaki, tangan dan tidur siang.
Ayah mereka pulang dari jogja. Ayah pulang dengan membawa kabar buruk.
“Ehh, Ayah sudah pulang. Gimana kerjaannya di Jogja?” sambut Bunda.
“Kerjaannya lancar kok Bun. Cuman kemarin Pak Winarto menelpon Ayah.” Jawab Ayah.
“Pak Winarto? Dia bilang apa Yah?
“Pak Winarto ingin mengambil Stella Bun. Beliau bilang kalau beliau mau merawat Stella mulai dari sekarang dan beliau sudah tidak bekerja di Australia lagi. Beliau sekarang bekerja sebagai direktur perusahaan di Jakarta.” Terang Ayah.
“Terus kita harus gimana Yah? Apa kita harus kasih tahu Stella?” Tanya Bunda khawatir.
“Cepat atau lambat, Stella akan tahu siapa orang tua kandungnya. Kita juga sudah tidak bisa merahasiakannya lagi. Kita dulu berjanji, apabila orang tua kandung Stella ingin meminta Stella kembali, kita harus menyerahkannya. Kita harus tepati itu. Ayah tahu Bunda sangat sayang pada Stella, Bunda sudah merawat Stella seperti anak kandung, Ayah juga merasakan hal yang sama. Tapi bagaimanapun kita bukan orang tua kandung Stella. Kita harus menyadari hal itu.”
“Baik Yah, Bunda nanti akan bicara pada Stella. Semoga dia mau mengerti..” kata Bunda sedih.
Dibalik semua pembicaraan itu, ternyata Stella mendengarnya. Stella pun langsung menuju ke kamar setelah mendengar semua itu. Stella yang tadinya ingin memberitahukan pada Bundanya bahwa dia dipilih oleh gurunya menjadi peserta kontes model antar kota pun sirna. Kini justru kesedihan yang menyelimuti hatinya.
Stella menangis. Dia berpikir apa semua itu benar bahwa dia bukan anak kandung dikeluarganya saat ini? Apakah adik-adiknya disini itu hanyalah adik tiri? Dan kenapa orang tua kandungnya tidak mau merawatnya sejak kecil, dan justru meminta orang lain untuk merawatnya? Kini Stella terlanjur sayang pada Ayah dan Bundanya disini. Begitu juga pada semua saudaranya disini yang ternyata adalah saudara tiri. Semua pikiran kesedihan dan kegelisahan kini sedang menimpa Stella..
Stella turun dari tempat tidur. Ia membuka almarinya dan mengambil album fotonya. Ia memandangi semua gambar dirinya bersama Ayah dan Bundanya disini. Kenangan dirinya bersama keluarga itu sulit untuk dilupakan. Ia kembali menangis. Ia melihat foto disaat Ayah menggendongnya, saat Bunda menyuapi dan mengganti pakaiannya. Saat Stella menangis karena terjatuh ketika dilatih berjalan, dan saat Ia tidur nyenyak dipelukan Bunda. Tangisnya tidak terbendung. Semakin lama semakin keras dan membuat Melody terbangun karena hal itu.
“Kamu kenapa Stell?” Tanya Imel cemas.
“Ehh, nggak papa kok Mel. Terharu aja lihat foto-foto aku waktu kecil. Hehehe.” Jawab Stella menutupi kebenaran yang ada.
“Ohh, hehe. Kirain kenapa. Yaudah, jangan nangis lagi yaa..” ucap Imel.
“Iyaa Mel. Makasih yaa atas semuanya.” Ucap Stella sambil tersenyum.
Melody agak bingung dengan kata-kata Stella yang terakhir. Ada apa sebenarnya? Melody menjadi penasaran. Apa ada sesuatu yang sedang disembunyikan oleh Stella? Melody ingin tahu..
(*)


Melody keluar kamar bersama Stella. Mereka menyambut kedatangan Ayah. Melody sangat senang. Tapi Stella justru sedih. Ia hanya termenung dalam kesedihan menemui Ayah.
“Stella, apa kamu nggak senang Ayah pulang?” Tanya Ayah.
“Ehh, iyaa. Stella senang kok Yah. Stella mandi dulu ya, gerah soalnya.”
Stella pergi ke kamar mandi. Ibunda bingung apa yang sedang terjadi pada Stella.
“Bunda, Stella tadi di kamar nangis waktu lihat fotonya masa kecil. Terus Stella juga bilang terima kasih atas semua. Imel bingung Bun, ada apa sama Stella..” terang Imel.
Bunda hanya menatap Ayah dan keduanya berpikiran apa Stella sudah tahu hal sebenarnya.
“Nggak papa kok Mel, sudah lupakan saja. Sana kamu juga mandi, ajak saudaramu yang lain.” Perintah Ayah.
Melody pun kunjung pergi dan melaksanakan perintah itu. Stella yang sudah selesai mandi diajak bicara oleh Ayah dan Bundanya.
“Stella, ada apa denganmu nak? Ada masalah?” Tanya Bunda.
“Nggak papa kok Bun, Stella baik-baik aja. Makasih ya Bun, Yah, sudah merawat Stella selama ini. Stella seneng banget bisa berada disini bersama Ayah, Bunda dan saudara lainnya. Kalian sudah seperti keluarga sebenarnya untuk Stella. Kalian nggak akan Stella lupakan. Stella sayang sama Ayah dan Bunda, begitu juga semua saudara Stella disini..” terang Stella sambil tersenyum sedih.
“Apa kamu sudah tahu yang sebenarnya?” Tanya Ayah.
“Iya Yah, Stella bukan anak kandung Ayah dan Bunda kan? Stella tahu kok. Tadi Stella denger pembicaraan Ayah dan Bunda. Maaf yaa Yah, Bun, Stella tadi nguping. Stella sudah kurang ajar, maafin Stella..”
“Sudah, nggak papa Stella. Jangan nangis lagi, jangan biarkan saudara kamu ikut sedih karena hal ini. Kami semua disini sudah menganggap Stella sebagai bagian nyata dari keluarga ini. Walau Stella bukan anak Ayah dan Bunda, tapi Ayah dan Bunda sayang. Saat nanti Stella kembali ke orang tua kandung Stella, jangan lupakan Ayah dan Bunda yaa. Jangan lupakan saudara kamu disini. Bagaimanapun, mereka tetap menjadi saudara kamu. Ayah dan Bunda tetap menjadi Ayah dan Bunda Stella. Kami sangat berharap untuk terus membesarkan Stella sampai Stella memiliki keluarga sendiri. Tapi sepertinya semua itu tidak mungkin karena orang tua kandung Stella meminta Stella kembali..” ucap Bunda sambil matanya berkaca-kaca.
“Saat Stella masih bayi, saat pertama kalinya Ayah menggendong kamu, Ayah berharap kalau Stella benar-benar menjadi anak Ayah. Agar Ayah bisa terus bersama Stella, Ayah meminta Pak Winarto untuk menunda Stella untuk dikembalikan. Padahal sudah sejak di Australia Pak Winarto meminta Stella kembali karena takut hal ini akan terjadi. Tapi Ayah selalu menundanya hanya karena ingin merawat, membesarkan dan bersama Stella. Stella masih punya waktu sebulan bersama keluarga disini. Ayah ingin kita semua melalui itu tanpa ada masalah, hanya ada kebahagiaan dan keharmonisan layaknya sebuah keluarga..” jelas Ayah.
“Stella mau kan disini selama sebulan lagi? Beri waktu Ayah dan Bunda untuk menikmati hari itu bersama kamu dan saudara kamu..” Tanya Bunda.
“Stella mau banget Bun, Yah. Terima kasih..” ucap Stella terharu.
Stella memeluk erat Ayah dan Bunda tirinya itu. Ia sempat berpikir bahwa disinilah sebenarnya keluarganya. Yang menyayanginnya sejak kecil, merawat, membesarkan dengan penuh kasih sayang. Bagaimanapun, itulah arti sebuah keluarga bagi Stella..



~ To Be Continued ~

Nih, yang mau kenalan sama penulisnya.. =))
Twitter : Hilman Farizan

Jangan lupa, visit blog-nya juga ya di Relatable 48 :))

No comments:

Post a Comment

Ehm, sudah tahu aturan komentar yang baik dan benar kan?