2/8/13

Arti Sebuah Keluarga (FINAL PART)

Hari senin tiba. Stella mulai memasuki sekolah barunya. Yang biasanya ia berangkat dengan bersepeda, kini ia harus berangkat dengan dihantar oleh Papanya. Sementara itu, Melody, Ve, Cleo, Sonya, Shania, Ochi, dan Nabilah juga berangkat ke sekolah mereka seperti biasanya. Mereka semua berpisah dan memulai hari mereka masing-masing.
Hari ini Ve mengikuti lomba design antar sekolah. Ia sangat yakin bisa melalui lomba itu dengan baik dan keluar sebagai salah satu juaranya. Semangat dan dukungan yang diberikan oleh saudara dan Ayah Bundanya melekat kuat dihatinya. Itu sudah menjadi modal yang besar bagi Ve untuk menjuarai lomba itu. Belum lagi, motif design yang telah ia kerjakan juga sudah sempurna setelah ia mendapat bantuan dari Stella waktu itu.

“Hari ini aku pasti jadi juara. Aku yakin!” kata Ve untuk menambah lagi kepercayaan dirinya.
Maka dimulailah lomba design tersebut. Semua peserta diberi waktu tiga jam untuk menyelesaikan design mereka masing-masing sebaik mungkin. Nilai yang diberikan oleh juri tidak hanya dari bagusnya motif, atau kesempurnaan gambar saja, tapi bagaimana cara peserta menyelesaikan design itu juga menjadi nilai penting. Peserta design yang baik terlihat dari bagaimana mereka mengerjakan design mereka, ekspresi mereka dalam mencoretkan setiap garis pada kertas, dan bagaimana ide yang mereka berikan terhadap design tersebut.

Dan benar saja, setelah lomba selesai dan diumumkan pemenang lomba, Ve menjadi juara satunya. Keyakinan yang besar, kerja keras, dukungan, serta doa menjadi modal utama Ve dalam menjuarai lomba itu. Bukan sebuah kebetulan, tapi itu adalah buah hasil dari usahanya. Semua teman, guru, saudara, dan keluarga sangat bangga atas hasil yang diraih oleh Ve. Mereka tidak pernah berpikir seorang pemalu seperti Ve ternyata memiliki pengetahuan yang tinggi di bidang design dan fashion. Mungkin itulah arti dari kalimat jangan menilai orang dari luarnya saja. Tapi dibalik semua itu, Ve ingin menyebarkan kabar bahagia ini kepada saudaranya yang jauh darinya sekarang ini. Tidak lain adalah Stella. Bagaimanapun, Stella juga ikut andil dalam design itu.
“Stella, suatu saat kamu akan tahu apa yang aku raih hari ini..” batin Ve.

Dilain cerita, Stella yang masuk ke sekolah barunya memperkenalkan diri kepada teman-teman sekelasnya.
“Hai. Namaku Stella Cornelia, panggil aja aku Stella. Semoga kita bisa berteman baik disini.” Ucap Stella.
Semua teman sekelas menyambut Stella dengan baik. Stella beruntung masuk ke sekolah yang muridnya baik-baik. Ia kemudian duduk di salah satu bangku kosong di barisan kiri dan memulai pelajaran pertamanya di sekolah itu.
“Halo Stella? Namaku Hilman, boleh dong kenalan sama kamu?” kata salah seorang murid di kelas itu.
Stella hanya diam dan tersenyum kecil. Ia tahu apa maksud dari murid itu mengajaknya berkenalan, tidak lain adalah untuk mendekatinya. Namun murid itu terus saja mengajak bicara Stella meskipun Stella hanya mendiamkan dia. Berkali-kali ia bicara pada Stella di tengah pelajaran matematika itu, dan akhirnya Pak guru mengetahui hal itu.
“Hilman!” kata Pak guru membentak.
“Iya Pak, ada apa?”
“Maju kesini cepat!”
Murid bernama Hilman itu lalu maju ke depan kelas.
“Kerjakan soal ini. Pelajaran malah ramai terus. Cepat!
“I..Iya Pak.”

Murid itu mencoba mengerjakan soal yang diberikan. Murid lain mentertawainya karena soal itu belum pernah diajarkan sebelumnya. Mereka yakin kalau ia tidak akan bisa mengerjakannya. Hilman hanya memandangi soal dipapan tulis, dan tidak tahu apa yang harus ia tulis. Pak guru juga sudah tahu kalau ia tidak akan bisa karena itu belum pernah diajarkan. Ini sebagai hukuman padanya karena tidak memperhatikan pelajaran yang termasuk dalam kategori penting itu.
Hilman lalu menuliskan sesuatu di papan tulis, tulisannya sangat kecil dan ia menutupi itu dengan tubuhnya sambil melihat ke Pak guru atau murid lain kalau ada yang melihat tulisannya.
“Nah!” ucapnya keras.
Murid dan Pak guru kaget. Ada gerangan apa ia berkata keras seperti itu.
“Kenapa kamu? Tidak bisa mengerjakan soal ini kan? Sana kamu keluar kelas dan berdiri di depan pintu kelas ini!” kata Pak guru marah.

Hilman mendiamkan pak Guru dan menuliskan sesuatu di papan tulis, kini tulisannya jelas dan dapat dibaca murid lain.
“Oke pak, saya keluar dari pelajaran ini!” ucap Hilman.
Ia lalu keluar begitu saja sambil tertawa kecil. Pak guru lalu melihat apa yang ditulikan oleh Hilman tadi. Ternyata apa yang dituliskan oleh Hilman adalah jawaban dari soal itu dan benar. Pak guru kaget, dari mana anak seperti itu bisa menjawab soal yang belum pernah diajarkan. Murid lainnya juga agak kaget, begitu juga Stella.
“Hahaha. Pak guru ternyata gampang dibodohi atau memang bodoh ya? Nyuruh aku ngerjain soal, tapi bukunya ke buka di mejanya. Ya jelas aku bisa lihat walau agak memaksa tadi. Hahaha. Wah, anak-anak dikelas pasti lagi kagum sama aku nih. Cewek baru itu pasti juga iya. Hahaha..” pikir Hilman sambil tertawa sendiri seperti orang yang agak gila.

Pelajaran pun akhirnya dilanjutkan dengan tertinggalnya rasa tidak percaya dari warga di kelas itu. Pak guru yang melihat jawaban yang dituliskan oleh Hilman itu benar, bermaksud memanggil Hilman dan kembali mengikuti pelajaran. Tapi saat Pak guru keluar kelas dan ingin memanggil anak itu, Hilman sudah tidak ada di depan kelas. Dan ternyata ia justru makan di kantin sekolah saat jam pelajaran masih berlangsung.
“Anak itu. Nakal sekali..” batin Pak guru.

(*)
Hari itu akhirnya berlalu. Sampai akhir pelajaran, Hilman tidak masuk ke kelas. Ia bolos sekolah dan pulang dengan menaiki dinding di belakang sekolah. Stella yang menunggu jemputan, justru sial karena bertemu anak nakal itu.
“Hai!” kata Hilman mengaggetkan Stella.
“Loh, kamu? Kemana tadi? Pak guru nyariin kamu. Katanya kamu bisa dapet hukuman dari BK kalau kamu nakal terus seperti itu.” Jelas Stella.
“Ah, itu nggak penting. Aku emang terkenal nakal disini, tapi nggak pernah di drop out karena aku sering berprestasi..” kata Hilman sambil membusungkan dadanya.
“Eh, ngomong-ngomong kamu nggak kangen ma aku dikelas tadi? Kangen kan pasti walau baru pertama ketemu? Ayo deh ngaku..” Tanya Hilman.
“Hahaha. Ngapain kangen ma orang yang nggak aku kenal? Ada-ada aja.”
“Sialan. Ini cewek susah banget ditaklukin. Nggak kayak cewek lain di sekolah ini.” Pikir Hilman.
“Ini cowok siapa sih? Belum kenal aja udah kayak gini. Banyak pengen tahunya.” Pikir Stella.
“Kak, ayo pulang!” ucap Sonia dari seberang jalan.
“Iyaa! Aku pulang dulu deh. Bye!” kata Stella meninggalkan anak nakal itu.
“Eh, kok?” Hilman kaget.
Ia lalu mengikuti Stella menyebrangi jalan yang agak ramai itu. Ia pura-pura membantu Stella menyebrangi jalan.
“Hahaha. Papanya pasti akan ngira kalau aku anak yang baik.” Pikir Hilman.
“Nih anak ngapain lagi ikutan nyebrangin jalan ini?” pikir Stella.
Mereka pun sampai diseberang jalan.
“Terima kasih ya nak udah bantuin Stella menyebrang jalan.” Kata Papa Stella.
“Eh, Pa. Bu..”
“Oh, iya Om. Sama-sama. Saya juga seneng kok bisa bantuin Stella.” Hilman memotong apa yang akan dibicarakan Stella.
“Ya udah, kita pulang dulu ya nak.”
“Iya Om. Hati-hati, jaga anak Om yang cantik itu.” Kata Hilman sambil menunjuk ke arah Stella.
Mereka akhirnya pulang. Anak nakal itu tertawa keras karena Papa Stella mengira bahwa ia membantu anaknya menyebrang jalan. Padahal Hilman hanya ingin menyebrang dan makan bakso di seberang jalan.
“Hari ini aku kayaknya seneng banget. Hahaha.” Batin Hilman.
Sementara itu..
“Anak laki-laki tadi namanya siapa?” Tanya Papa.
“Nggak tahu deh siapa namanya. Hilmin atau Hilman gitu kayaknya..” jawab Stella.
“Temen pertama kamu ya?”
“Bukan Pa, bukan..”
“Ohh, aku tahu kak. Itu pacar kakak ya? Haha.” Ejek Sonia.
“Idih, apalagi pacar. Cowok itu tuh nggak jelas banget dari mana. Tiba-tiba ajak ngajak kenalan aku. Dia tadi juga dihukum suruh ngerjain soal, kata murid lain belum pernah diajarin ma Pak guru. Anehnya dia bisa. Dan waktu mau dipanggil Pak guru buat masuk kelas lagi, dia malah nggak ada di depan kelas. Tahunya malah bolos..” terang Stella.
“Ohh, begitu ya..” ucap Papa.

(*)
Hari itu telah berlalu. Hari selanjutnya datang. Seperti biasa, si anak nakal selalu menganggu Stella walaupun ia tahu Stella sama sekali tidak mempedulikannya. Meskipun begitu, itu tetap terjadi. Dan di keluarga aureliana, mereka juga seperti biasanya, berada dalam keharmonisan sebuah keluarga yang sulit untuk didapatkan di keluarga manapun.

Hari-hari terus berlalu. Waktu berjalan, serasa makin cepat. Dan hari sabtu telah tiba. Hari yang sudah ditunggu-tunggu oleh Stella untuk bisa bertemu saudaranya di Bandung. Dan waktu yang dinanti tiba juga. Stella dan Sonia dihantar Papanya datang ke rumah aureliana bersaudara tanpa sepengetahuan keluarga disana. Stella mengetuk pintu dan memanggil satu-satu nama saudaranya disana.
“Mel! Ve! Cleo! Shania! Sonya! Ochi! Nabilah!” teriak Stella.

Tak ada satu pun dari mereka menjawab. Termasuk Ayah dan Bundanya disana. Stella lalu kunjung sedih. Ia kecewa karena kesempatannya untuk bertemu keluarga disini serasa hilang. Setelah penantian lima hari, hanya ada dua hari saja ia bisa bersama mereka. Tapi mereka justru tidak ada.
“Kamu mau nemuin siapa nak?”
Stella merasa ia mengenali suara itu. Ia membalikan tubuhnya ke belakang, dan ternyata Bunda, Ayah, dan saudaranya ada di taman saat itu.
“Bundaa?” kata Stella lalu memeluk Bunda juga Ayah.
“Kalian? Kalian sehat kan disini? Baik-baik aja kan?” Tanya Stella kepada semua saudaranya.
“Nggak Stell, kami kurang sehat..” Jawab Melody.
“Loh kenapa Mel? Kenapa kalian bisa kurang sehat?”
“Karena kamu udah lama nggak tinggal disini..” ucap Melody.

Stella terharu. Mereka semua pun berpelukan, tertawa, bercanda dan mengobrol panjang lebar untuk melepas kerinduan. Stella juga memperkenalkan adiknya pada saudaranya, mereka menyambut dengan baik. Keakraban kembali terjalin seperti dulu. Ayah, Bunda, Papa, dan Mama mereka bahagia melihat anak-anaknya bisa sangat rukun seperti itu.
“Eh, kita nyanyi yuk? Lama kan nggak nyanyi bareng?” ajak Shania.
“Iya ayo. Lagu yang baru yaa..” kata Melody.
Stella tidak tahu lagu apa itu. Yang pasti, merindukan kebersamaan itu, dan mendengar mereka bernyanyi.

Berapa banyak memori kita yang telah berlalu?
Berapa juta kenangan kita yang ada di masa lalu?
Apa kau mengingatnya? Apa kau mengingatnya?
Kami merindukan hari dimana kau ada disini
Dimana kau mendengar tangisku
Dimana kau mendengar tawaku
Ini bukan perpisahan biasa, ini adalah kebahagiaan yang tak lengkap tanpamu


Mendengar lagu itu, Stella jadi tahu bagaimana besarnya cinta dan kasih sayang dari keluarganya itu. Bukan masalah berapa banyak jumlah mereka, tapi itu masalah berapa banyak dari mereka yang ada untuknya saat ia membutuhkan. Bukan masalah seberapa besar cinta mereka, tapi seberapa tulus mereka mencintainya. Penantian yang lama, akhrinya terlupakan setelah peristiwa itu. Semua kembali diselimuti kebahagiaan yang dulu pernah hilang. Kembalinya satu orang keluarga lebih berarti dari pada datangnya seratus teman. Itulah yang mereka rasakan. Itulah arti sebuah keluarga. Bukan hanya untuk Stella dan mereka, tapi untuk sebuah keluarga. Ini adalah akhir dari arti sebuah keluarga, dimana mereka kembali menemukan surga dunianya. Kebahagiaan mereka bukan karena lebihnya materi, tapi karena besarnya rasa cinta, kebersamaan, kesederhanaan dan kepercayaan satu sama lain. Itulah yang sering di salah artikan.
Akhir dari sebuah cerita bukan berarti akhir yang kosong. Akhir dari sebuah cerita akan membuka sebuah cerita baru. Dan akhir dari sebuah kehidupan akan selalu berakhir dengan kebahagiaan. Karena jika tidak diakhiri dengan kebahagiaan, itu bukanlah akhir..


~ The End ~

Nih, yang mau kenalan sama penulisnya.. =))
Twitter : Hilman Farizan

Jangan lupa, visit blog-nya juga ya di Relatable 48 :))
 

No comments:

Post a Comment

Ehm, sudah tahu aturan komentar yang baik dan benar kan?